BAGI pendaki gunung, mendaki jajaran Pegunungan Jayawijaya adalah
sebuah impian. Betapa tidak, pada salah satu puncak pegunungan itu
terdapat titik tertinggi di Indonesia, yakni Carstensz Pyramide dengan
ketinggia
n 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Jangan heran jika pendaki gunung papan atas kelas dunia selalu
berlomba untuk mendaki salah satu titik yang masuk dalam deretan tujuh
puncak benua tersebut. Apalagi dengan keberadaan salju abadi yang selalu
menyelimuti puncak itu, membuat hasrat kian menggebu untuk
menggapainya.
Tetapi, siapa yang menyangka jika puncak bersalju itu dahulunya adalah bagian dari dasar lautan yang sangat dalam!
Tetapi, siapa yang menyangka jika puncak bersalju itu dahulunya adalah bagian dari dasar lautan yang sangat dalam!
“Pulau Papua mulai terbentuk pada 60 juta tahun yang lalu. Saat itu,
pulau ini masih berada di dasar laut yang terbentuk oleh bebatuan
sedimen. Pengendapan intensif yang berasal dari benua Australia dalam
kurun waktu yang panjang menghasilkan daratan baru yang kini bernama
Papua. Saat itu, Papua masih menyatu dengan Australia,” jelas ahli
geologi Fransiskus Benediktus Widodo Margotomo saat memaparkan sejarah
terbentuknya Pulau Papua.
Keberadaan Pulau Papua saat ini, lanjutnya, tidak bisa dilepaskan
dari teori geologi yang menyebutkan bahwa dunia ini hanya memiliki
sebuah benua yang bernama Pangea pada 250 juta tahun lalu. Pada kurun
waktu 240 juta hingga 65 juta tahun yang lalu, benua Pangea pecah
menjadi dua dengan membentuk benua Laurasia dan benua Eurasia, yang
menjadi cikal bakal pembentukan benua dan pegunungan yang saat ini ada
di seluruh dunia.Pada kurun
waktu itu juga, benua Eurasia yang berada di belahan bumi bagian selatan
pecah kembali menjadi benua Gonwana yang di kemudian hari akan menjadi
daratan Amerika Selatan, Afrika, India, dan Australia.
“Saat itu, benua Australia dengan benua-benua yang lain dipisahkan
oleh lautan. Di lautan bagian utara itulah batuan Pulau Papua mengendap
yang menjadi bagian dari Australia akan muncul di kemudian hari,” tambah
sarjana geologi jebolan Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta,
pada 1986 ini.
Pengendapan yang sangat intensif dari benua kanguru ini, sambungnya,
akhirnya mengangkat sedimen batu ke atas permukaan laut. Tentu saja
proses pengangkatan ini berdasarkan skala waktu geologi dengan kecepatan
2,5 km per juta tahun.
Proses ini masih ditambah oleh terjadinya tumbukan lempeng antara
lempeng Indo-Pasifik dengan Indo-Australia di dasar laut. Tumbukan
lempeng ini menghasilkan busur pulau, yang juga menjadi cikal bakal dari
pulau dan pegunungan di Papua.
Akhirnya proses pengangkatan yang terus-menerus akibat sedimentasi
dan disertai kejadian tektonik bawah laut, dalam kurun waktu jutaan
tahun menghasilkan pegunungan tinggi seperti yang bisa dilihat saat ini.
Bukti bahwa Pulau Papua beserta pegunungan tingginya pernah menjadi
bagian dari dasar laut yang dalam dapat dilihat dari fosil yang
tertinggal di bebatuan Jayawijaya.
Meski berada di ketinggian 4.800 mdpl, fosil kerang laut, misalnya, dapat dilihat pada batuan gamping dan klastik yang terdapat di Pegunungan Jayawijaya. Karena itu, selain menjadi surganya para pendaki, Pegunungan Jayawijaya juga menjadi surganya para peneliti geologi dunia.
Meski berada di ketinggian 4.800 mdpl, fosil kerang laut, misalnya, dapat dilihat pada batuan gamping dan klastik yang terdapat di Pegunungan Jayawijaya. Karena itu, selain menjadi surganya para pendaki, Pegunungan Jayawijaya juga menjadi surganya para peneliti geologi dunia.
Sementara terpisahnya daratan Australia dengan Papua oleh lautan
berawal dari berakhirnya zaman es yang terjadi pada 15.000 tahun yang
lalu. Mencairnya es menjadi lautan pada akhirnya memisahkan daratan
Papua dengan benua Australia.
“Masih banyak rahasia bebatuan Jayawijaya yang belum tergali.
Apalagi, umur Pulau Papua ini masih dikategorikan muda sehingga proses
pengangkatan pulau masih terus berlangsung hingga saat ini. Ini juga
alasan dari penyebutan Papua New Guinea bagi Pulau Papua, yang artinya
adalah sebuah pulau yang masih baru,” tambah peraih gelar master di
bidang Economic Geology dari James Cook University, Townswille,
Australia ini.
Sementara keberadaan salju yang berada di beberapa puncak Jayawijaya,
diyakininya akan berangsur hilang seperti yang dialami Gunung
Kilimanjaro di Tanzania. Hilangnya satu-satunya salju yang dimiliki oleh
pegunungan di Indonesia itu disebabkan oleh perubahan iklim secara
global yang terjadi di daerah tropis.
salam geologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar